“we’re suppossed to be at somewhere else these days…”
Begitulah yang istri saya selalu katakan beberapa hari ini. Somewhere else yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah Bali, tempat dimana dia tinggal lebih dari 10 tahun sebelum akhirnya kami menikah dan memutuskan menetap di Jakarta.
Memang agak disayangkan, liburan sekaligus acara “pulang kampung” yang kami rencanakan dari beberapa bulan lalu akhirnya harus dibatalkan karena satu dan lain hal. Ditambah sebelumnya kami sudah membayangkan akan bisa menyaksikan langsung upacara Ngaben terbesar di Bali tanggal 2 NOvember kemarin yang diselenggarakan di Ubud, untuk Raja Peliatan ke IX, Ida Dwagung Peliatan yang telah meninggal tahun 1971.
Istri saya sering sekali menceritakan betapa megahnya sebuah upacara Ngaben atau Palebon di Bali. Katanya, jika biasanya kematian identik dengan kesedihan dan suasana murung, maka Ngaben atau Palebon adalah kebalikannya, tidak diperkenankan ada airmata karena akan menghalangi roh ke surga. Segala sesuatu untuk mempersiapkan upacara dan ketika upacara sedang berlangsung harus dilakukan dengan suka cita.
Selain itu, Ngaben juga merupakan bentuk pengormatan pada roh leluhur, dan dari Ngaben jugalah akan tampak kelas strata sosial atau yang sering disebut kasta di budaya Bali. semakin tinggi kasta seseorang, semakin tinggi juga tingkatan Bade ( wadah) yang akan digunakan untuk tempat menempatkan mayat sebelum dibakar. Bade ini beserta dengan patung lembu dan nagabanda selanjutnya akan diputar sebanyak 3 kali di setiap perempatan yang dijumpai sepanjang perjalanan dari Puri menuju tempat pembakaran. Tujuannya adalah untuk mengusir roh jahat yang ingin mengganggu selama prosesi upacara dilakukan.
Dilihat dari persiapan upacaranya yang memakan waktu lama, upacara Ngaben ini pastinya besar sekali. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Ubud dengan jalannya yang sempit itu menampung ribuan warga dan turis yang ingin menyaksikan upacaranya.
Terakhir kali saya ke Bali tahun lalu saja, tanpa ada Ngaben Ubud sudah macet. Membayangkan kami tak harus berdesak-desakkan diantara ribuan orang paling tidak sedikit menghibur. Cukuplah di Jakarta saja kami menghadapi segala kemacetan dan keruwetan. *halah*
Ah, sebenarnya saya masih menyesal tidak jadi ke Bali, apalagi jika melihat tulisan tentang Ngaben itu di website-nya Indonesia Travel. Tapi apa boleh buat, toh tiket promo kemarin tak bisa di-reschedule. Mungkin nanti kami rencanakan liburan dan jali-jali lagi.
Comments
2 responses to “VIRTUAL TRAVELING “PELEBON” JAKARTA – BALI”
hmmmmm… kok sama tulisannya sama yang sebelah-sebelah juga?
*lirik-lirik*
😛